Cerbung Dengan Judul Deliana Pernah diterbitkan surat kabar Waspada 30/01/1991
Bagian Satu
GADIS cantik semampal itu duduk di depan ayahnya. Bibirnya yang merah basah bergerak gerak menahan
Langsung kesedihan dirasakannya cukup panjang, selama ini sejak seorang lelaki muda belum menepati janjinya, ia akan menunggu lelaki itu pulang dan menjemputnya.
Kalau tidak ia akan menyusulnya ke Medan. Tetapi, setiap saat apa yang diinginkannya itu selalu kandas.
Pak Dullah, ayahnya selalu berhasil menahan keinginan anak gadis satu-satunya ini. Baginya, tidak mudah untuk mencari seseorang di Medan.
Dan Lelaki tua itu mengatakan, Unang yang pernah jadi muridnya mengaji ketika di
kampung, sekarang sudah tenggelam di dalam belantara kota. Itu kebiasaan anak kampung yang hijrah ke kota.
Setiap kali ayahnya mengatakan begitu, Deliana selalu menangis terisak di dalam kamarnya Jantungnya berdenyur kuat.
Kesedihannya tumbuh, Ia tetap yakin, lelaki muda yang pernah berjanji akan membawanya ke Medan itu pasti menunggunya.
Dan ketika ayahnya tiga kali menerima lamaran pemuda kampung itu dan kampung seberang, Deliana bersikeras menolak.
Ia punya perinsip lebih baik mati dari pada harus menikah dengan orang yang tidak pernah terlintas di hatinya.
Ia tidak peduli apa yang dikatakan ayahnya itu. Baginya hanya ada satu lelaki dalam batinnya, Unang. Apakah ia harus terus menunggu ?
Nampaknya sudah sampai pada satu titik, dimana ia harus berbuat sesuatu. Ia harus tinggalkan desa ini. Ia harus cari Unang.
Baginya cuma ada satu alamat, rumah sakit di mana Aisyah di serahkan oleh hansip kampung. Itulah modal, dari sana selanjutnya ia akan telusuri di mana Unang.
Baginya, semuanya itu gampang saja. Mudah.
ketika hatinya keras dan keinginannya untuk hidup dengan Unang mengkristal. Inilah yang terlintas di benaknya akhir-akhir ini.
Pergi meninggalkan kampung halaman. Dia tahu, sudah terlalu lama ia menunggu. Sudah terlalu sabar ia menanti buah hatinya. Kini saatnya ia harus berbuat sesuatu untuk yang katanya cinta di hatinya.
Ayah? la tidak akan pamit lagi. Ia tidak akan permisi lagi. Ia tidak hiraukan pendapat ayah lagi. Satu yang ada di hatinya saat ini, men-
cari Unang. la tidak tahan terus mimpi berkepanjangan,
Di Medan Unang yang menjadi kerinduan gadis itu hidup berdampingan dengan wanita yang dinikahinya, Upik.
Mereka hidup di rumah sewa peninggalan rumah orang tuanya. Mereka tata rumah tangga itu perlahan lahan dari dana penghasilan juru rawat dan sedikit penghasilan suaminya.
Ditambah pula abangnya ikut membantu. Rumah itu kini tampak indah dan mungil, artistik.
Unang tidak lagi tenggelam dalam kesedihannya setelah kematian kakaknya Aisyah. Ia juga tidak mempertahan apa yang diberikan pak dokter kepada kakaknya Aisyah.
Ia biarkan semuanya diambil istri pak dokter yang kini menjanda.
Soal Deliana? Unang hanya menganggapnya masa lalu. Hari ini adalah ia didampingi seorang wanita yang menjadi istrinya.
Upik, Wanita yang menjadi istrinya ini, pernah hamil tiga bulan. Lalu bayi hasil bubungannya
dengan pik itu gugur. Sampai saat ini. Upik belum ada tanda-tanda bamil lagi.
Unang, masih menjaga parkir di plaza. Hasil dari pekerjaannya itulah untuk hidup dirinaya dan istrinya. Sekali sekali la mimpi bertemu Deliana di padang luas di bawah langit biru la tersenyum kecil lalu paginya ia sembunyikan semuanya di dalam hatinya.
Ia tidak mau Upik terganggu akibat mimpinya
itu. Sekalipun pada awal perkawinannya dengan Upik ia tahu, karena termakan
budi dan pertimbangan menghargai keluarga Upik.
Namun ia menjaga agar semuanya tidak diungkapkan. Biarlah semuanya terbenam
dalam diri. Penting baginya menjaga kerukunan rumah tangga. Untuk itu, Unang
lebih banyak mengalah.
Hari ini Minggu pertama bulan. Artinya bulan muda bagi orang-orang yang bekerja sebagai pegawai. Termasuk Upik sebagai juru
rawat rumah sakit.
Nah, bagi Unang sama dengan nasib pekerja lepas lainnya di Medan, hari Minggu atau awal
bulan biasa saja. Cuma kelebihannya, hari ini ia libur dan istrinya juga libur.
Mereka bisa berkumpul sehari penuh sampai malam. Tidak seperti biasanya, antara dia dan istrinya jarang bersama di rumah, karena
pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan rumah. Mencari nafkah. Malam baru mereka berkumpul.
Itupun kalau kebetulan Upik tidak kena tugas malam.
"Nang, kita jalan-jalan ke mana hari libur ini". Wanita muda yang mengenakan baju hamil itu
menyandarkan badannya ke bahu suaminya.
Unang memandangnya dengan senyum.
"Maunya ke mana?"
"Terserah, pokoknya kita
jalan-jalan".
Suaminya memperhatikan acara teve yang baru saja mengudara. Istrinya bicara lagi.
"Kita pakai honda abang. Barangkali abang tidak tugas hari ini."
Begitu kata Upik antusias sekali sambil berdiri dan akan pergi. Suaminya menangkap lengan istrinya.
"Jangan. Sebaiknya kita jangan menyusahkan abang. Kita naik sudaco, beca atau taksi saja"
"Yakinlah abang tidak marah kalau untuk kita"
"Ya,..tapi kita harus meng hargai mereka."
"Kalau begitu, kita pergi sekarang ya..." Lagi Upik mengecup pipi kanan suaminya.
Seterusnya mereka sama-sama masuk ke
dalam kamar dan di sana bersalin pakaian berdua. Unang senyum-senyum memperhatikan istrinya yang begitu gembira sekali pagi ini.
"Sampai saat ini kita belum memutuskan ke mana,"
"Nanti, kalau kita sudah keluar dari rumah, kita akan tahu ke mana. Di luar suasananya akan mudah untuk kita memilih tempat yang sesuai dengan hati kita" Itu jawaban Upik sambil mengenakan celana jeans.
Unang sendiri membuka baju kaus oblong yang dipakainya tidur malam tadi, menggantinya dengan yang diambilkan istrinya dari lemari.
"Aku kepingin makan pecal".
"Eh. Aku juga. Kog sama ya selera kita"
"Kalau selera kita tidak sama, tentu kita tidak se rumah dan setempat tidur seperti selama ini".
Upik dengan manja mencubit paha suaminya mendengar canda lelaki itu. Udara di luar mendung, tetapi tidak hujan. Tidak lama kemudian, mereka sudah keluar sama dari pintu dan berjalan menyusuri gang. Orang-orang kampung melihat mereka sebagai pasangan yang bahagia.
Upik menyilangkan lengannya ke lengan suaminya. Unang nampak tersenyum riang. Sampai saat mereka tiba di ujung gang, masih belum tahu tujuan mereka ke mana.
Tapi, begitu sudako berhenti di depan mereka, keduanya naik. Tujuan sudako ini terminal Sambu. Ya, bagi Upik di sana nanti suaminya akan menentukan ke mana, karena di sana terminal bis kota segala jurusan.
(Bersambung).-

Tidak ada komentar:
Write comments