Profesi wartawan oleh tokoh jurnalistik tidak sedikit yang menyebutkan adalah profesi yang mulia. Lantaran fungsinya sebagai penyampai kabar dan mewakili suara rakyat, bahkan hingga lapisan bawah. Namun, belakangan ini wartawan cendrung tidak berimbang dalam mengabarkan, karena seolah hanya menjadi corong Pemerintah ketimbang rakyat.
Padahal seharusnya, fungsi wartawan secara sirkulasi menjadi jembatan antara penyampai suara rakyat dan sebaliknya menyampaikan informasi dari Pemerintah untuk konsumsi rakyat. Namun, keseimbangan sirkulasinya ternyata tidak sepenuhnya berjalan baik. Lantaran, wartawan hanya cendrung menjadi penyampai informasi untuk rakyat.
Sementara, suara rakyat yang seharusnya disuarakan, dengan harapan Pemerintah dapat tau apa yang sedang terjadi pada masyarakatnya di lapisan bawah cendrung terabaikan. Lantaran wartawan tidak melakukan itu. Jika dihitung persentase, nilainya kecil disudut masyarakat yang tersampaikan aspirasinya.
Di Negara besar di belahan dunia lain, wartawan dianggap sebagai warga Negara kelas satu. Lantaran kemampuannya menghimpun dan menyunting informasi untuk disajikan secara luas dan umum. Karena itu pula dibutuhkan kredibilitas dan kompetensi yang telah diuji barulah dapat menjadi wartawan.
Berbeda pula dengan di Negeri sendiri, media dan wartawan seperti jamur, terlebih di era digital saat ini. Karena itu, tidak sedikit yang memanfaatkan situasi dan kondisi tersebut. Orang seolah berbondong bondong menjadi wartawan, padahal belum pernah diuji kemampuannya dalam menghimpun dan menulis berita.
Kemudian, situasi tersebut dijadikan sebagai batu loncatan untuk menggandeng atau menjalin hubungan emosional dengan pihak tertentu, yang arahnya kepada menarik diri sendiri dan mendongkrak kepentingan pribadi.
Alih alih tak berharap eksis menjadi sejatinya wartawan atau Journalis, hengkang begitu saja dari profesi wartawan lantaran kepentingan sudah terkait, ikatan emosional sudah klop. Hal ini tentunya, menciderai dunia wartawan dan orang yang memang bergelut di dunia jurnalistik.
Tak puas disitu, waktu berjalan tahun berganti tua pun datang, alih alih muncul mengaku senior, senior sebagai wartawan. Ketika diuji menyajikan laporan jurnalistik, meletakkan tanda baca sudah tidak pada tempatnya, miris.
Namun, ketika adu argumen, tidak perlu diragukan. Bak kenalpot racing berapi api, maunya menang sendiri. Preseden buruk, profesi wartawan hanya dijadikan batu loncatan.
*

Tidak ada komentar:
Write comments